
PERNAH lihat seseorang yang kegilaan akibat jatuh cinta hingga membuat IQ drop 100 poin dan logikanya rusak berat? Saat orang lain bilang dia jatuh cinta pada orang yang salah, dia sendiri merasa sangat bahagia. Inilah fenomena infatuation.
“Orang jatuh cinta seperti ini, apalagi terikat dalam pernikahan, bisa meninggalkan keluarganya. Padahal, pria yang disukainya, kata orang banyak, cuma punya nilai 2, dan di rumah dia punya suami bernilai 8. Ibaratnya, punya Apple Macintosh ditukar sama pepaya Bangkok,“ tutur Alexandra Dewi dalam bedah buku barunya, It’s Complicated; Teman Sharing Ketika Hubungan Menjadi Rumit di Kinokuniya Books, Plasa Senayan, Jakarta, baru-baru ini.
Dewi, panggilan akrabnya, mengatakan, infatuation dalam bahasa Indonesia kira-kira artinya kegilaan karena rasa cinta sedangkan ilmu psikologi mengistilahkannya dengan delutic madness.
Infatuation, lanjutnya, bila tidak di-manage dengan baik, bila tidak di-handle dengan bijaksana, dapat menyebabkan si penderita kehilangan segala-galanya, termasuk akal sehat, hilang kompas moral tentang mana yang benar dan mana yang salah, hilang harga diri, belum lagi kehilangan kesehatan jasmani-rohani, dan risiko-risiko lainnya.
Contoh kasus, penyanyi Whitney Houston. Saat diwawancarai Oprah Winfrey mengenai pernikahan dan perceraian dengan suaminya, yang kalau di Indonesia dikategorikan suami “madesu“ (masa depan suram), Whitney berkata, “He is my drug !“. Padahal, suaminya iri kepadanya karena karier sang suami tidak sebagus sang istri. Dan, ketika Oprah bertanya hal apa yang dilakukan suaminya yang paling menyakitkan hatinya, Whitney menjawab, “He spit on me !”.
Diludahi, tentu sakit hati. Tapi kemudian, Whitney kembali mengatakan, “I was in love, I was so in love.” Selama menikah, karier Whitney mandeg dan baru-baru ini (setelah bercerai) ia membuat album lagi. Bahkan salah satu lagu di album tersebut sudah ditulis untuknya sepuluh tahun yang lalu. Kita mungkin akan mencibir bahwa Whitney gila karena tak bisa berpikir logis. Karena, kita tak mengalaminya.
“Orang sampai bertanya-tanya, kok bisa sih? Buat yang enggak merasakan, bisa bilang begitu, tapi yang mengalaminya akan jawab, itulah cinta. Perasaan tidak bisa dimengerti dengan logika,” tukas Dewi.
Dalam buku kelimanya ini, Dewi menjelaskan, banyak sebab mengapa seseorang bisa dengan mudahnya salah pilih pasangan selain kesepian. Lima di antaranya adalah karena puber (baik puber pertama, kedua, dan ketiga), horny (kebutuhan biologis), quarter-life crisis, mid-life crisis, dan kebosanan. Kelima sebab tersebut bisa terjadi dalam waktu bersamaan.
“Jika ditarik ke ilmu psikologis, gejalanya mirip orang yang obsesif. Tidak mau memikirkan, tapi datang tanpa bisa kita kendalikan. Rasa ini mendesak kesadaran, apalagi enggak ada hitung-hitungan berdasarkan material. Buat dia, jalani saja,“ kata Dr Ashwin Kandouw, psikiater dari Rumah Sakit Pondok Indah pada kesempatan yang sama.
Push button-no push button
Mengupas cinta gila ini, Dr Ashwin punya penjelasan apa yang disebut push button dan no push button. Bad boy, katanya, mungkin lebih bisa menyentuh push botton-nya daripada good boy.
“Setiap orang punya sisi tertentu yang soft yang saat disentuh, bisa bikin wanita luluh. Inilah fenomena pria yang kita nilai cuma 2, tapi di mata wanita yang mencintainya nilai dia sangat tinggi. Dia berhasil menyentuh tombol soft dalam dirinya," imbuhnya.
"Ada pula pria yang enggak bisa menyentuh push button, padahal orang nilai dia punya nilai 8. wanita pun enggak bisa luluh sama dia,” terang psikiater yang juga berpraktek di Sanatorium Dharmawangsa, Jakarta Selatan ini.
Dr Ashwin menegaskan, sejauh ini tidak ada statistik yang mengungkap pria ataukah wanita yang lebih banyak merasakan fenomena cinta gila.
Efek negatif
Infatuation menurut ilmu psikologi menimbulkan apa yang disebut intrusive thinking, artinya rasa atau keadaan pikiran yang mana si penderita tidak bisa berkonsentrasi terhadap hal lain kecuali kepada orang yang saat itu ia cintai (the object of obsession).
Akibatnya, pekerjaan dan hubungan dengan orang lain, nafsu makan, kualitas tidur, tanggung jawab, semua akan terpinggirkan. Karena, kita sibuk merawat fantasi terhadap orang yang kita sukai.
“Penelitian membuktikan, bahwa orang yang sedang jatuh cinta, keadaan otaknya mirip dengan otak orang yang obsesif,“ tukas Dr Ashwin.(Okz)
0 komentar :
Posting Komentar